Laman

Selasa, 10 Mei 2011

Nyanyian camar laut

Jam di tangan belum genap menunjukan pukul 6 pagi, mata ini rasanya masih terasa berat , kantuk yang menggelayut di bawah kelopak mata  sepertinya enggan untuk beranjak.Ini adalah hari kedua ku berada di sebuah kampung  nelayan di pesisir  pantai barat selat Bangka ini. Terasa semilir angin lembut terus menyapa dan membelaiku seakan menggoda untuk terus melanjutkan mimpi jilid dua ku. Dari kejauhan  tampak anak-anak nelayan berlarian di pinggir pantai , mereka sibuk dengan dunianya, berlari dan bermain

Dari kejauhan terlihat perahu-perahu kecil nelayan menuju  kemari, diiringi nyanyian puluhan camar laut .Sepertinya sedari kemarin sore mereka melaut dan baru kembali pagi ini. Beberapa nelayan nampaknya sudah sedari subuh menurunkan hasil tangkapannya dan menjualnya ke tengkulak yang sudah menunggu di gubuk yang juga tidak jauh dari tempat ku berdiri. Nampaknya transaksi ekonomi sudah dimulai sejak subuh tadi disini. Wah luar biasa semangat mereka untuk mencari rezeki . "kreok.....kreokk...." ups... ada bunyi yang sangat ku kenal yang keluar dari lambung ku yang sudah mulai agak buncit. Ohhh ...rupanya sudah datang panggilan alami bagiku untuk segera mengisi perutku yang terasa kosong ini.

Tak jauh dari pondokan tempat ku bermalam ada sebuah gubuk kecil yang berdiri disamping sebuah pohon yang keliatan nya sudah berusia ratusan tahun. Di sana tampak terlihat beberapa orang sedang duduk-duduk ngobrol dengan santai sambil sesekali menyeruput segelas kopi dan juga makanan kecil yang disediakan oleh pemilik warung. "teh manis satu ya bu" kataku kepada perempuan tua yang ada di depan ku, diatas meja tampak tersedia beberapa penganan yang nampaknya menggoda lidah untuk segera bergerak. Dari bangku kayu gubuk pinggir laut ini pula ternyata banyak cerita yang bisa ku dengar dan kujadikan pelajaran tentang hidup. Gubuk kecil ini layak nya sebuah media center bagi warga kampung ini . Beragam pembicaraan dari yang ringan sampai yang agak berat juga di bicarakan oleh warga kampung ini, dari harga ikan, lada , timah dan listrik PLN yang selalu mati bak jadwal makan obat orang yang lagi sakit bahkan sampai cerita wakil rakyat yang ada disenayan. Terkadang juga mereka membicarakan cerita-cerita lucu yang mungkin dari jaman ke jaman masih tetap menjadi cerita favorite dan dibicarakan secara turun temurun.  

Senang rasanya berada disini, dari mimik wajah mereka sepertinya lepas tanpa beban walaupun sebenarnya kehidupan mereka semangkin termarginalkan oleh keadaan dan ketidak berpihakan pemerintah terhadap kondisi mereka. "Baru pertama kali datang kemari ya dek" tiba-tiba suara lelaki tua yang sedari tadi asyik menyeruput kopi di sebelahku membuatku agak terkejut. "eh ia pak" jawabku lepas. "Saya baru pertama kali kemari, kemarin sore saya tiba bersama seorang teman yang punya keluarga di sini, rencanaya selama beberapa hari ini saya mau melihat-lihat kampung nelayan disini". Saya sangat salut dengan keramah-tamahan penduduk kampung ini terhadap tamu dan bagaimana mereka membuat orang-orang yang baru datang sekalipun merasa nyaman berada disini.

"Dulu, ketika saya masih seumuran mu hampir semua orang-orang disini bermata pencaharian sebagai nelayan, dengan menjadi nelayan saja sudah bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga" . Kata bapak tua itu kemudian. " Kami tidak perlu jauh-jauh pergi ketengah laut untuk bisa mendapatkan ikan, namun sekarang ini untuk mendapatkan ikan kecil saja kami harus pergi ke laut yang agak jauh, dan itupun harus bersaing dengan kapal-kapal ikan thailand yang menggunakan pukat-pukat harimau,adek bisa bayangkan ". terlihat ia berhenti sebentar  sambil mengerutkan keningnya sembari menghisap rokok kretek dalam-dalam dan mengeluarkan kembali asapnya hingga berbentuk bola-bola asap ke udara. " boat-boat kecil dan sampan-sampan ini harus bersaing dengan kapal-kapal asing yang datang dari negeri tetangga yang besar dan di lengkapi dengan pukat-pukat harimau dan teknologi canggih,padahal ini laut kita, tetapi kita tidak bisa menikmati hasilnya seperti dulu lagi" katanya dengan nada agak tinggi.  "apakah pemerintah daerah disini tidak memberi bantuan untuk nelayan kampung pak" kataku kemudian. " pemerintah disini sepertinya masih setengah hati dalam hal keberpihakan kepada nelayan" katanya lagi. " lalu bagaimana dengan generasi muda nya pak, jika mata pencaharian hidup sebagai nelayan sudah tidak bisa menjadi sandaran lagi " ucapku kemudian. " mereka ada yang menjadi kuli pelabuhan, ada yang menjadi pegawai PT TIMAH,  ada yang jadi kuli-kuli tambang swasta dan sebagian lagi memilih untuk meninggalkan pulau ini untuk mengadu nasib di kota". lanjutnya. "Dulu nyanyian camar di pantai ini pertanda banyaknya ikan yang ada di dalam laut, tetapi kini nyanyian camar laut mungkin pertanda bahwa sebentar lagi mereka juga kan pergi meninggalkan pulau ini untuk mempertahankan hidupnya di pulau lain". Sambung si bapak tua itu. Nampak matanya berkaca-kaca seperti mengingat sesuatu dimasa lalu.

Dari dialogku tadi dengan bapak tua itu tampak jelas adanya rasa risau yang amat sangat, rasa risau akan nasib anak cucunya dan generasi penerus kampung ini. Hal ini sangat logis mengingat sumber daya alam berupa pasir timah yang selama ini menjadi primadona pulau ini pun lambat laun akan habis sehingga hanya menyisakan sisa-sisa eksplorasi yang terhampar. Jika hari itu tiba dan pemerintah daerah setempat serta pemerintah pusat tidak segera memikirkan nya dari sekarang nyanyian camar laut bukan saja pertanda mereka akan pergi meninggalkan pulau ini tetapi juga nyanyian mereka merupakan nyanyian perpisahan terhadap semua warga kampung nelayan di pesisir barat pulau bangka ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar