Laman

Rabu, 18 Mei 2011

Tak Bening Lagi Sugai Ulu

Rindang pohon-pohon besar tampak gagah di sepanjang bibir sungai, angin yang bertiup sepoi-sepoi, air sungainya yang bening sehingga kita bisa melihat ikan-ikan  kecil yang menghuni dasarnya , mereka semua seakan bercanda ria dengan anak-anak kecil seumuranku yang sedang mandi dan bermain disana. 

Biasanya sepulang dari sekolah Kami sering sekali mampir di sungai ini untuk mandi dan mencari udang. Udang-udang kecil itu biasanya banyak bersembunyi di antara akar-akar pohon yang menjuntai hingga ke dasar sungai. Jika sudah begini biasanya Kami lupa untuk pulang. Berjuta cerita terukir di bantaran sungai ini. Sungai yang sudah menjadi bagian dari perjalan hidupku dan teman-teman di sana. Ohhh..... indah sekali masa itu. masa yang telah mengajarkan Kami bagaimana seharusnya Kita berlaku terhadap alam ciptaan Tuhan ini.

Upsss...... ternyata itu hanya bagian dari cerita kecilku, ketika air sungai Arang-arang dan sungai Ulu masih bening. ketika masih banyak anak-anak seusiaku mandi dan bermain di sungai disaat ibu-ibu mereka sedang mencuci pakaian disana.

Namun itu semua tinggal cerita. Cerita yang mungkin juga hanya tinggal cerita. Cerita yang ada ketika tangan-tangan serakah masih terbelenggu. Ketika explorasi liar akan pasir timah masih bisa di kontrol penguasa. Namun ketika eforia otonomi daerah bergema dengan amat sangat dahsyat sehingga melupakan tujuan semula nya yang mulia. Ketika raja-raja kecil bermunculan di setiap wilayah negeri sebagai akibat dari pemekaran wilayah yang rasanya kebablasan.

Entah berapa banyak lagi di luar sana di seluruh penjuru negeri ini sungai-sungai, lautan dan hutan yang menjadi tumbal dari keserakahan dan kepentingan segelintir golongan yang semakin rakus akan harta bumi pertiwi yang harus nya di jaga . Kini rasanya tak ada lagi kata-kata suci dalam undang-udang dasar negera yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam nya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. " Sungguh ini sebuah ironi"

2 komentar: